Kamis, 17 April 2014


Istighfar dan Shalawat 
Dari Syariat Hingga Hakikat. Istighfar, yang berarti mohon ampunan kepada Allah SWT, merupakan tradisi ritual Islam yang sangat fundamental. Sebab dalam Istighfar itu mengandung beberapa elemen ruhani, sebagaimana banyak dikutip oleh al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW. Masalahnya, mengapa Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar hamba-hamba Allah terus menerus beristighfar dan bershalawat? Apa hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, dan keselamatan kehidupan dunia akhirat? Di mana posisi Istighfar, baik secara psikologis maupun secara elementer dalam kosmik ruhani (sufistik) hamba Allah? Inilah yang akan kita kaji bersama sebagai refleksi setiap kita menggerakkan bibir kita dan mendetakkan jantung hati kita.

Sejumlah ayat tentang Istighfar atau pertobatan sangat banyak dikutip al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, misalnya:
Mereka apabila mereka melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, segera ingat akan Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya" (QS. 3:135).

 Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan memohon ampunan kepada-Nya, sungguh Dia Maha penerima Taubat. (QS. 110:3)

dan orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur (sebelum fajar). (QS. 3:17).

Maha Suci Engkau Wahai Allah, Tuhanku! Dan dengan segala puji bagi-Mu ya Allah Tuhanku, ampunilah aku! Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, lagi Maha Pengasih. (HR. al-Hakim).

Barang siapa memperbanyak istighfar, maka akan diberi kelapangan dalam setiap kesusahan dan jalan keluar dari kesempitan. Dan dianugerahi rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka. (HR. Abu Dawud dan Nasai).

... aku (Nabi saw) beristighfar seratus kali setiap hari. (HR. Muslim).

Meski dosa-dosamu sebanyak buih lautan, sebanyak butir pasir di padang pasir, sebanyak daun di seluruh pepohonan, atau seluruh bilangan jagad semesta, Allah SWT tetap akan selalu mengampuni, bila engkau mengucapkan doa sebanyak tiga kali sebelum engkau tidur: Astaghfirullaahal Azhiim al-ladzii Laa ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuumu wa Atuubu Ilaih. (Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Memelihara (kehidupan), dan aku bertobat kepada-Nya). (HR. at-Tirmidzi).

Makna Terdalam
Masih puluhan ayat dan hadits yang membincangkan keutamaan Istighfar. Dalam ucapan yang sering diwiridkan oleh beliau, antara lain: Astaghfirullaahal Azhiim (Aku Mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung)

Ucapan istighfar ini saja mengandung beberapa makna yang dalam:
*        Pertama, hamba yang beristighfar mengakui eksistensi kehambaannya di hadapan Allah SWT. Sebab hakikat hamba adalah sosok tak berdaya dan tak berupaya.

*        Kedua, hamba yang beritighfar berarti mengakui tajallinya Allah dalam Asma Keagungan-Nya. Karena pengampunan Allah itu sendiri merupakan manifestasi dari Kemaha-agungan Allah SWT. Musyahadah hamba kepada asma keagungan-Nya, merupakan prestasi paling elementer dalam memandang, siapa sebenarnya dan apa hakikat hamba Allah itu sendiri.

*        Ketiga, Istighfar berarti kefanaan hamba Allah, lebur dalam eksistensi Keagungan Allah Taala.

*        Keempat, Istighfar berarti memupus sifat-sifat ego hamba. Sebab sehebat apa pun prestasi hamba di bidang materi maupun ruhani, tidak bisa mengklaim bahwa prestasi itu semata sebagai hasil usaha hamba. Sebab tanpa anugerah Allah, usaha mencapai puncak prestasi itu tidak akan pernah terwujud. Karena itu pengakuan total bahwa, nafsu egois itu sebagai pihak yang berperan dalam segala usahanya adalah suatu tindakan dosa.

*        Kelima, Istighfar merupakan tindakan yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, hamba yang beristighfar menumbuhkan rindu-redam kepada Allah, karena memang cinta Allah turun kepada hamba-Nya yang beristighfar. Sebagaimana dalam al-Quran ditegaskan, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri.

*        Keenam, orang yang beristighfar sangat dicintai oleh Nabi SAW, sebab Istighfar adalah tradisi kecintaan Nabi SAW. Istighfar berkait erat dengan proses penyucian diri, karenanya Istighfar adalah prasyarat bagi Tazkiyatun Nafsi.

*    Ketujuh, Istighfar memiliki maqamat dalam kualifikasi ruhani hamba Allah.

*        Kedelapan, Istighfar melahirkan perdamaian kemanusiaan, karena dalam Istighfar pun ada macam Istighfar yang bersifat sosial kemanusiaan, yaitu memohonkan ampunan bagi sesama hamba Allah.

Istighfar Individu dan Sosial

Dalam ritualitas vertikal, seorang hamba tidak hanya meraup kebahagiaan di hadapan Allah, tanpa ia menyertakan sesama umat beriman. Justru kualitas keimanan seseorang sangat berkait erat dengan kepedulian ruhaninya terhadap orang lain. Keteladanan Rasulullah SAW, ketika saat Yaumul Mahsyar memberikan cermin kepada umatnya, bahwa kulitas ruhani Rasulullah SAW, yang melebihi para Nabi dan Rasul, terpantul pada pembelaannya akan nasib umat di hadapan Allah. Suatu sikap yang tidak dimiliki oleh para pemimpin dan para Nabi/Rasul. Sebab ketika para hamba Allah meminta syafaat kepada para Nabi, mulai Nabi Adam as, hingga Isa al-Masih as, ternyata mereka enggan, disebabkan mereka tidak berdaya, terutama memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW, yang justru tidak memikirkan nasib dirinya di hadapan Allah, malah yang terucap hanya kalimat: Umatiiumatii..umatii…” (umatkuduh, umatkuumatku).

Justru pembelaan Nabi Muhammad SAW itulah yang memberikan kewenangan padanya, syafaat besar yang bisa menyelamatkan umat dari siksa Allah SAW. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan agar dalam permohonan ampunan, juga menyertakan permohonan ampunan untuk sesama umat. Misalnya, Istighfar yang berbunyi:

Astaghfirullaahal azhiim, lii waliwaalidayya, walijamiil huquuqi waajibati alayya, walijamiil muslimin wal-muslimaat wal-muminiin wal muminaat al-ahyaai min-hum wal-amwaat.
(Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, bagiku dan bagi kedua orang tuaku, dan bagi seluruh orang yang menjadi tanggungan kewajibanku, dan bagi umat muslimin dan muslimat, dan kaum muminin dan muminat).

Dari nilai Istighfar di atas memberikan perspektif luar biasa bagi integrasi dan dinamika sosial secara damai. Hubungan-hubungan sosial akan berlaku dengan penuh kesejatian hati ke hati, karena hubungan yang bersifat emosional negatif dinetralisir oleh istighfar sosial di atas.

Makanya, kualitas Istighfar bukan saja ditentukan hubungan yang sangat pribadi dengan Allah, tetapi juga sejauh mana seorang hamba menghayati Istighfar sosialnya.


Di Balik Shalawat Nabi SAW

Hubungan Istighfar dan Shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang yang bershalawat, mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah Nabi. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika beristighfar.

Shalawat Nabi, merupakan syariat sekaligus mengandung hakikat. Disebut syariat karena Allah SWT, memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman, agar memohonkan Shalawat dan Salam kepada Nabi. Dalam Firman-Nya:
Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya senantiasa bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam baginya. (QS. 33: 56)

Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Taala tersebut :

Suatu hari Rasulullah SAW, datang dengan wajah tampak berseri-seri, dan bersabda: Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, Sangat menyenangkan untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seseorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya. Dan sepuluh salam bagiku akan kubalas dengan sepuluh salam baginya. (HR. an-Nasai)

Sabda Rasulullah SAW: Kalau orang bershalawat kepadaku, maka malaikat juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya, untuk itu hendaknya dilakukan, meski sedikit atau banyak. (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)

Sabda Nabi SAW, Manusia yang paling utama bagiku adalah yang paling banyak shalawatnya. (HR. at-Tirmidzi)

Sabdanya, Paling bakhilnya (kikir) manusia, ketika ia mendengar namaku disebut, ia tidak mengucapkan shalawat bagiku. (HR. at-Tirmidzi).

Perbanyaklah shalawat bagiku di hari Jumat (HR. Abu Dawud).

Sabdanya, Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling mencari orang yang bershalawat, dengan tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku. (HR. an-Nasai)

Sabdanya, Tak seorang pun yang bershalawat kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ke ruhku, sehingga aku menjawab salam kepadanya. (HR. Abu Dawud).

Tentu, tidak sederhana, menyelami keagungan Shalawat Nabi. Karena setiap kata dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhani yang sangat dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai hamba Allah, Nabiyullah, Rasulullah, Kekasih Allah dan Cahaya Allah. Sehingga setiap detak huruf dalam Shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa.

Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada Nabi, sedangkan Nabi adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang? Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah SWT :

Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya untuk mencintainya, berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve. Ibarat gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmat dan Anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad SAW.

Shalawat Nabi mengandung syafaat dunia dan akhirat. Semata karena filosofi Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu, meruntuhkan Amarah-Nya. Sebagaimana dalam hadits Qudsi, Sesungguhnya Rahmat-Ku, mengalahkan Amarah-Ku.

Muhammad, sebagai nama dan predikat, bukan sekadar lambang dari sifat-sifat terpuji, tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal, yang ada dalam jiwa Muhammad SAW. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung, tidak akan memiliki nilai Cinta yang hakiki manakala, estetika di balik Cinta itu, hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi, justru tercermin dalam Keagungan-Nya, dan Keagungan itu ada di balik desah do'a yang disampaikan hamba-hamba-Nya buat Kekasih-Nya. Wallahu Alam.





---(ooo)---






Tidak ada komentar:

Posting Komentar